Tulisan agak serius ini dimuat di
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/13/waktunya-buka-bukaan-data-obat
Dokter Zaenal Abidin, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia 2012-2015, menulis di Kompas pada 8 November 2022, bahwa kasus keracunan sirop adalah ”Dosa Industri Farmasi dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kepada Dokter”. Seharusnya, yang lebih tepat adalah ”Dosa kepada Konsumen (Pasien)”.
Sebagian besar sirop obat yang tercemar etilen glikol (EG)/dietilen glikol (DEG) adalah obat bebas dan bebas terbatas yang boleh dibeli tanpa resep dokter. Merek sirop obat, antara lain, Flurin, Unibebi, Vipcol, dan Samcodryl. Sirop-sirop ini diproduksi PT Yarindo Farmatama, Universal Pharmaceutical Industries, Afi Farma, Ciubros Farma, dan Samco Farma.
Kasus ini seharusnya membuka kesadaran kita bahwa selama ini banyak hak konsumen yang diabaikan. Salah satunya adalah hak atas informasi kandungan obat. Selama ini produk sirop obat hanya mencantumkan kandungan bahan aktif, misalnya parasetamol 125 mg per 5 ml sirop. Tidak ada informasi mengenai bahan tambahan. Padahal, informasi ini sangat penting, tidak hanya bagi konsumen, tetapi juga buat dokter dan apoteker di lapangan.
Parasetamol di dalam sirop biasanya dilarutkan dengan alkohol (etanol) atau famili glikol, yaitu propilen glikol, polietilen glikol, gliserin (gliserol), dan sorbitol. Kedua pilihan ini dilematis. Alkohol harganya murah, tetapi banyak konsumen menghindarinya karena alasan kehalalan. Selama ini kelompok glikol adalah alternatif yang lebih diterima karena dianggap halal dan berbeda dari alkohol. Namun, sekarang dengan adanya kasus ini, kita juga waswas menggunakannya karena takut terhadap cemaran EG/DEG.
Selama ini produk sirop obat hanya mencantumkan kandungan bahan aktif, misalnya parasetamol 125 mg per 5 ml sirop. Tidak ada informasi mengenai bahan tambahan.
Ironisnya, konsumen tidak pernah tahu apakah sirop obat itu mengandung alkohol atau propilen glikol dkk karena memang informasi bahan tambahan ini tidak dicantumkan di dalam kemasan. Ini berbeda dengan regulasi makanan. Lihat saja bungkus mi instan, permen, cokelat, atau sosis. Di kemasannya tercantum secara rinci bahan tambahan apa saja yang digunakan. Walaupun ditulis dengan huruf yang sangat kecil, setidaknya informasi ini dicantumkan di kemasan.
Seharusnya produk farmasi juga diwajibkan melakukan hal yang sama. Kalaupun tidak ditulis di kemasan primer (botol sirop) karena keterbatasan ruang, setidaknya informasi ini dicantumkan di kemasan skunder (kotak karton). Kewenangan ini jelas ada di BPOM. Hari ini BPOM bersikap sangat tegas kepada perusahaan farmasi yang melanggar aturan. Sudah seharusnya BPOM juga tegas mewajibkan pencantuman informasi semua bahan tambahan. Ini adalah hak konsumen yang selama ini diabaikan.
Di pasaran, baru ada beberapa gelintir produk sirop obat yang secara terang-terangan mencantumkan kadar alkohol di kemasan, misalnya obat batuk Vicks Formula 44, Actifed, dan Woods, OBH Combi. Mereka berani berterus-terang di hadapan konsumen religius yang menghindari alkohol. Sementara sebagian besar produk sirop mencari aman dengan tidak mencantumkan informasi sama sekali.
Sudah seharusnya BPOM juga tegas mewajibkan pencantuman informasi semua bahan tambahan. Ini adalah hak konsumen yang selama ini diabaikan.
Bahkan, banyak produk sirop obat demam dan batuk pilek yang dipasarkan dengan klaim bebas alkohol untuk memikat konsumen yang takut alkohol. Ini sebetulnya merupakan bentuk kecurangan. Kalau sirop itu bebas alkohol, pelarut apa yang digunakan? Biasanya yang digunakan sebagai alternatif alkohol adalah propilen glikol dkk. Tetapi, kita tidak pernah tahu persisnya sebab tidak ada informasinya di kemasan.
Jika aturan seperti ini tidak diberlakukan, kita semua masih akan terus menanggung kerepotannya nanti. Yang repot bukan hanya konsumen, apoteker, dan dokter, melainkan juga BPOM. Contoh yang jelas adalah ketika BPOM mengeluarkan pengumuman mengenai sirop-sirop obat yang sudah diperiksa dan dinyatakan aman. Di situ BPOM menulis, sirop-sirop obat yang aman itu adalah yang tidak mengandung propilen glikol, polietilen glikol, gliserin, dan sorbitol. Seandainya tidak ada rincian nama merek dagangnya, informasi ini tidak bermakna sama sekali karena toh apoteker atau dokter di lapangan pun tidak tahu mana sirop obat yang mengandung atau tidak mengandung bahan-bahan tersebut.
Membantu pengawasan
Adanya informasi bahan tambahan ini juga akan membantu BPOM dalam melakukan pengawasan. Dalam kasus sirop obat beracun kali ini, BPOM mendapat banyak sorotan karena dianggap gagal melakukan tugas pengawasan. Ini juga sebetulnya masalahnya kompleks sekali. Di dalam sebotol sirop obat ada banyak sekali jenis pemeriksaan. Misalnya, pemeriksaan kadar bahan aktif, pemeriksaan cemaran A, cemaran B, cemaran C, dan seterusnya. Dengan sumber daya yang sangat terbatas, memang hampir tidak mungkin BPOM melakukannya. Apalagi, jumlah merek sirop obat di Indonesia terbilang kelewat banyak.
Dalam keterangan pers pada 9 November 2022, Kepala BPOM Penny K Lukito menyampaikan temuan yang sangat mengejutkan. Ada salah satu pemasok propilen glikol yang kandungan EG/DEG-nya hampir 100 persen. Artinya, ini bukan lagi soal cemaran atau oplosan melainkan memang EG/DEG yang dijual dengan label propilen glikol. Bahasa awamnya, menjual minyak rem sebagai cairan obat. Ini artinya bahwa memang di lapangan ada pelaku kejahatan yang hanya bisa dideteksi dini kalau ada kewajiban melaporkan semua data bahan tambahan obat.
Sekarang adalah momentum yang tepat untuk beres-beres industri obat. Selama ini BPOM keteteran karena jumlah merek obat di Indonesia ini sudah kelewat banyak. Memang tidak ada hukum yang dilanggar ketika BPOM meloloskan registrasi obat sekian banyak. Namun, ada satu hal yang jelas: makin banyak merek obat berarti makin banyak yang harus diawasi, makin besar pula kemungkinan terjadinya kecolongan seperti hari ini.
Terlalu banyak merek obat, selain merepotkan BPOM, juga merepotkan konsumen, apoteker, dan dokter. Salah baca resep adalah contoh klasik karena banyaknya obat yang nama mereknya mirip. Kalau cuma sirop parasetamol, tak perlu nama merek dagang baru, cukup pakai nama generik saja, diikuti nama pabriknya. Misalnya ”Sirup Parasetamol ABC Farma”. Jika nanti ABC Farma melakukan pelanggaran, umumkan saja namanya ke publik agar konsumen dan tenaga kesehatan bisa menandai produk mereka sebagai daftar hitam.
Mohammad Sholekhudin, Apoteker IAI Cabang Lamongan, Jawa Timur